Baik Adalah Musuh

Seri SOBAT - Semua Orang Bisa Hebat - Artikel #005

Dalam era yang penuh kompetisi ini, menjadi baik bukanlah perkara mudah. Bahkan para pengusaha dan pimpinan perusahaan sudah sering mengeluh jangankan menjadi baik, untuk sekadar survive - bertahan hidup - saja sudah sedemikian sulit. Melonjaknya harga Bahan Bakar Minyak yang gila-gilaan, menurunnya daya beli masyarakat, dan keamanan usaha yang tidak kondusif dengan banyaknya aksi teror bom, premanisme, KKN, berbagai regulasi nasional yang kontra produktif, beratus Perda yang ajaib, serta iklim usaha yang tidak menjamin keamanan berinvestasi membenarkan keluhan itu. Keadaan diatas juga telah menjema menjadi baju zirah baru bagi para pengusaha dan pimpinan perusahaan. Soal Baju zirah, tulisan sebelunya berjudul "Don Kisaot Ksatria Salah Jaman"

Being survive, sambil menunggu keadaan membaik mungkin pilihan yang paling baik bagi sang pengusaha, tetapi pasti bukan yang terbaik bagi karyawan perusahaan yang bersangkutan. Bila keaadaan tidak menjadi lebih baik atau bahkan memburuk, sang pengusaha dengan mudah dapat memindahkan investasinya ke bidang usaha lain, atau hengkang ke negara lain yang iklimnya lebih menjanjikan, sedangkan para karyawan akan terkena PHK bersama matinya perusahaan. Bagi para eksekutif dan terutama karyawan perusahaan, memilih being survive berarti menggali kuburannya sendiri.





Bilapun kondisi perusahaan anda dalam status baik seperti kawan-kawan kita para manajer yang sedang menuju tempat pelatihan itu (lihat Don Kisot, Ksatria Salah Jaman), dan tetap menggunakan baju zirahnya, maka bersiap-siaplah untuk menghisap rokok terakhir anda. Baju zirah anda, anggapan bahwa baik itu cukup, akan menjadi liang kubur anda.

Yang harus kita lakukan adalah melepaskan baju zirah itu, lalu menguburnya dalam-dalam. Pandanglah dia sebagai musuh, sebagai racun yang akan menina-bobokan anda seakan semuanya sudah cukup. Dia akan membius anda dan membawa anda pada arrived syndrome, sindroma sudah sampai di tujuan, yang membuat anda berhenti.

Paul G. Stoltz, ‘guru’ Adversity Quotient atau Kecerdasan Kegigihan, – sebagian orang menyebutnya Ketegaran atau Ketabahan - membagi respons manusia terhadap kesulitan dalam tiga tipe: Quitters (Pecundang), Campers (Pengkemah), dan Climbers (Pendaki).

Para pecundang akan berhenti dan pergi manakala kesulitan menghadangnya. Mereka ingin segalanya tetap nyaman, teratur dan berjalan baik seperti biasanya. Para pengkemah akan mencoba mendaki seperlunya, mencari sesuatu yang mungkin dapat diraihnya mendapati tanah datar dan sedikit pemandangan indah lalu berhenti untuk mendirikan kemah dan menikmati apa yang tersedia disana. Mereka merasa sudah cukup baik, sudah sampai di tempat yang lumayan segar meskipun tahu masih ada tempat yang lebih tinggi, lebih sejuk dan lebih indah panoramanya. Adapun, para pendaki akan mematok target puncak gunung tertinggi sebagai sasarannya. Mereka akan selalu terus dan terus mendaki betapapun semakin sulit dan terjal medan yang dihadapinya. Mereka tidak akan berhenti sebelum menjejakkan kakinya di puncak tertinggi itu. Bahkan ketika sebuah puncak telah ditaklukkan, mereka akan mencari puncak lain yang lebih tinggi sebagai target berikutnya.

Berpuas dengan kondisi baik akan membuat kita berhenti dan mendirikan kemah. Konotasi baik akan mengisyaratkan kita untuk beristirahat dan menikmati kue pangsa pasar yang telah diraih dan celakanya bersifat sementara karena segera akan diisi juga oleh pengkemah lain atau dijadikan basis para pendaki. Tempat itu akan direbut pesaing kita yang selalu berusaha melampaui ke’baik’an yang kita miliki.

Menjadi baik itu memang baik dan perlu. Tetapi menjadikan baik sebagai tujuan, sebagai visi atau tolok ukur pencapaian akhir, adalah sikap atau pandangan hidup yang dangkal. Untuk terus bertahan hidup, tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan, baik tidak dapat dijadikan sasaran akhir. Kita harus mematok visi “HEBAT”. Hebat memuat pemahaman luar biasa, atau spektakuler. Hebat mencakup pula pengertian lebih baik atau bahkan terbaik saat itu.

Tegasnya, baik adalah musuh dari hebat.

Hillon I. Goa, dalam bukunya: 'Semua Orag Bisa Hebat'

NEXT TOPICS

  • Berpikir 'DAN' bukan 'ATAU'
  • Berpikir Induktif
  • Berpikir Ekstrapolatif
  • Mental KERE
  • Kompromi Bukanlah Win-Win
  • Gagal itu juga Sukses!
  • Tujuan Nan Takkan Pernah Gagal
  • QUIZ Sobat
  • Konsep WEIJI
  • Jangan Menghormati PERBEDAAN!

Very Inspiring Video

Recent Comments